Beberapa tahun terakhir, istilah “Marriage is Scary” semakin sering terdengar, terutama di media sosial. Ungkapan ini muncul dari pengalaman banyak pasangan, terutama perempuan, yang melihat pernikahan bukan sekadar momen bahagia, tetapi juga tanggung jawab besar. Tak sedikit yang mengaku takut menikah setelah melihat realita di balik hubungan rumah tangga orang lain yang tidak seindah di media.
Fenomena ini dibahas dalam Podcast Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) X Seluas Tanah Merah pada 28 Juli 2025, dengan narasumber Putri dan Namira dari KPI. Mereka memaparkan alasan di balik ketakutan ini, dampak yang dirasakan perempuan, hingga langkah-langkah membangun kemandirian agar tidak terjebak dalam hubungan yang merugikan
Pernikahan: Pilihan, Bukan Kewajiban
Bagi sebagian perempuan, pernikahan adalah langkah besar yang memerlukan kesiapan mental, emosional, dan finansial. Putri dan Namira menekankan bahwa pernikahan adalah pilihan, bukan kewajiban. Sayangnya, norma sosial sering menekan perempuan untuk menikah di usia tertentu, meskipun belum siap.
Pada pernikahan usia muda, perempuan cenderung lebih rentan terhadap kekerasan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengalaman, ketidaksiapan ekonomi, maupun minimnya pengetahuan tentang hubungan sehat.
Penyebab “Marriage is Scary”
Ada beberapa faktor yang memicu ketakutan terhadap pernikahan, antara lain:
- Kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
 Kekerasan bisa berbentuk verbal, fisik, maupun mental. Bahkan tindakan yang tidak mendapatkan persetujuan (non-consensual), seperti perselingkuhan, termasuk kekerasan emosional.
- Trauma dari Lingkungan Sekitar
 Banyak orang enggan menikah karena melihat kegagalan rumah tangga orang tua atau kerabat dekat. Anak yang tumbuh di keluarga harmonis cenderung memiliki pandangan positif terhadap hubungan, sedangkan sebaliknya dapat memicu rasa takut.
- Perselingkuhan dan Ketidakmandirian Perempuan
 Ekspektasi sosial sering menyalahkan perempuan dalam kasus perselingkuhan. Minimnya kemandirian finansial dan mental membuat korban sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat.
Menghadapi dan Memulihkan Diri dari Kekerasan
Bagi korban kekerasan, langkah pertama adalah kesadaran emosional—menerima diri dan menyadari bahwa dirinya berharga. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:
- Meningkatkan kapasitas diri terkait isu gender.
- Menyelesaikan trauma melalui dukungan psikologis.
- “Membuang sampah emosi” agar tidak menumpuk.
- Melaporkan perselingkuhan atau kekerasan psikis kepada pihak berwenang.
Penting untuk diingat, kemelekatan berlebihan yang membuat diri tidak sehat harus dihindari. Perempuan perlu menilai kelayakan menikah dari sudut pandang pribadi, bukan membandingkan dengan orang lain.
Peran Keluarga dan Teman
Keluarga dan teman memiliki peran penting dalam mendukung korban kekerasan. Bentuk dukungan yang disarankan antara lain:
- Mendengarkan cerita korban tanpa menghakimi.
- Tidak memaksa korban bercerita saat pertama kali bertemu.
- Memberikan pertolongan medis bila ada luka fisik.
- Sabar dan membangun kesadaran korban secara bertahap.
Selain dukungan emosional, korban juga memerlukan bantuan praktis untuk memulihkan diri. Di Bandung, misalnya, pemilik KTP Kota Bandung dapat mengakses layanan visum kekerasan secara gratis sebagai langkah awal mendapatkan keadilan. Namun, tantangan tetap ada, terutama bagi gender minoritas yang sering kesulitan memperoleh pekerjaan dan dukungan yang layak.
Peran KPI dalam Advokasi Perempuan
Koalisi Perempuan Indonesia aktif melakukan advokasi sejak 2022, termasuk di tingkat kampus dan pemerintah daerah. Layanan mereka mencakup:
- Pengaduan dan pertolongan pertama (first aid) bagi korban kekerasan.
- Edukasi gender dan seksual untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
- Pendampingan dan jejaring advokasi bagi kasus yang belum bisa diselesaikan tuntas.
KPI juga mendorong perempuan untuk memperkuat agency diri, melakukan hal yang disukai secara konsisten, dan membangun kemandirian agar tidak mudah menjadi korban.
Fenomena “Marriage is Scary” mencerminkan keresahan banyak perempuan terhadap realita pernikahan. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, mengingat masih tingginya kasus kekerasan dalam hubungan, perselingkuhan, dan tekanan sosial. Namun, melalui kemandirian, kesadaran diri, dukungan keluarga, serta peran organisasi seperti KPI, perempuan dapat membangun pondasi yang kuat untuk mengambil keputusan hidup yang lebih sehat dan aman.
Dengan memahami isu ini, masyarakat diharapkan tidak lagi menghakimi perempuan yang memilih menunda atau bahkan tidak menikah, tetapi justru mendukung setiap individu untuk hidup sesuai pilihannya—bebas dari kekerasan dan tekanan sosial.
